Minggu, 08 Juni 2008

KEMANA ARAH PENDIDIKAN KITA?

Peristiwa penyerbuan ke kampus Universitas Nasional (Unas), yang diprotes keras oleh Rektor Unas. Penyerbuan laskar KLI/FPI ke Monas dikutuk banyak kalangan. Kedua peristiwa tersebut merupakan indikator kegagalan pemerintah dan para tokoh bangsa dan tokoh agama dalam mendidik masyarakat. Kekerasan yang dipergunakan oleh polisi dan juga oleh KLI/FPI merupakan identitas ketidak mampuan polisi untuk mempergunakan nalar yang sadar, serta solidaritas rakyat yang menderita, miskin. Polisi bukanlah robot, tetapi aparat yang mendapat pendidikan khusus dengan biaya dari pajak rakyat. Mereka seharusnya solider dengan perjuangan mahasiswa yang menjerit karena mahalnya bahan kebutuhan rakyat yang diakibatkan kenaikan BBM. Sedangkan terhadap peristiwa penyerbuan Monas oleh elemen masyarakat polisi terkesan lamban dan membarnkan sampai terjadi kurban.

Apa yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut, pertama: kesadaran polisi sebagai aparat belum berpihak pada rakyat, tetapi masih kuat kesan berpihak kepada penguasa. Bukan pelindung rakyat tetapi pelaksana perintah yang taat meskipun tertekan rasa kemanusiaan dan solidaritasnya. Kedua: pemerintah tidak berhasil menyelamatkan kebutuhan dan afeksi rakyat yang menderita sebagai akibat keputusan yang dibuatnya. Bahakan beberapa hari sebelumnya ada suara bahwa 'mahasiswa yang tidak setuju kenaikan harga BBM berarti tidak setuju dengan BLT." Suara tersebut dapat menyulut konflik horizantal, seakan antara orang miskin dengan mahasiswa berbeda kepentingan dan berhadapan.

Peristiwa Monas kelabu memberi citra bahwa bangsa Indonesia yang cinta damai serta memiliki toleransi tinggi dalam hidup beragama terpuruk dimata dunia internasional. Lebih menyedihkan lagi saat penyerbuan, pada waktu terjadi peringatan Lahirnya Pancasila ke 63, yang menjadi fondasi bangunan negara kebangsaan Indonesia. Keterlambatan polisi dalam mengantisipasi penyerbuan Moas terkesan ada unsur 'membiarkan' atas kekerasan demi kekerasan. Bahkan ada isu yang berkembang bukan 'membiarkan' politik yang terjadi tetapi juga 'pengalihan perhatian' agar masyarakat tidak terus memprotes kenaikan harga BBM. Politik mengalihkan perhatian ini belajar dari Orde Baru. Tetapi pada waktu itu keadaan masyarakat masih belum cerdas seperti saat ini sehingga gampang membaca rekayasa yang kurang jujur.

Rakyat dan semua bangsa di dunia tentu berharap agar pemerintah mampu mengatasi kekerasan politik yang terjadi di Indonesia. Seharusnya pemerintah memiliki garis yang tegas agar tidak ada pemerintahan lain di dalam negara, seakan-akan negara menjadi tidak 'berdaya' mengatasi kelompk yang berbuat kekerasan. Harapan ini juga menjadi dambaan rakyat kecil agar mereka dapat bekerja mencari makan dengan tenang, tanpa diganggu para perusak dan "penarik uang" seluman.

Tidak ada komentar: