Senin, 13 April 2009

Grand Teori Evaluasi Pendidikan Bertahan

Pada dasarnya teori pengukuran dan evaluasi pendidikan yang dikembangkan oleh para pakar terdahulu, seperti L. Thorndike Ed. (1971) yang berhasil menyusun Educational Measurement" dan didukung oleh 24 pakar, mulai dari William H. Angoff, Alexander W. Astin, Frank Baker, Julian C. Stanley dan kawan-kawan belum mengalami perubahan yang berarti. Meskipun demikian di lapangan para praktisi pendidikan dan guru-guru termasuk dosen yang mengajar di perguruan tinggi kurang menaruh perhatian serius terhadap perkembangan sistem dan alat evaluasi yang mereka pergunakan untuk menakar kemampuan murid-murid dan mahasiswa. Kekurang pedulian tersebut memberi dampak yang cukup berarti bagi kualitas hasil belajar siswanya karena apabila seorang guru agak enggan untuk belajar mengevaluasi hasil belajar para siswanya, maka n dia cenderung untuk mencari jalan gampang, yaitu membiarkan siswanya yang berbuat salah, artinya tetap dinilai sebagai betul, agar mendapat predikat guru yang baik. Mereka tidak dengan serius memeriksa pekerjaan siswanya, karena beberapa alasan. Keduanya berakibat pada hasil pendidikan yang kurang memiliki kualitas penalaran, dan penguasaan ilmu kurang mantap.
Guru yang baik adalah guru yang memiliki kompetensi mengajar dengan baik, menguasai metoda mengajar dengan saksama, dan dapat memberikan arah kerja para siswanya agar dapat berbuat sesuai dengan kriteria dasar yang normative apa yang dilakukan para siswanya. Senadainya siswa berbuat dan mengerjakan tugas dengan baik sesuai dengan kriteri-kriteria yang telah ditetapkan, maka guru harus berani untuk memberi nilai maksimal, sebaliknya apabila siswa menyimpang dari kriteria yang telahditetapkan, maka harus diberi kriteria atau nilai yang sama dengan kemampuannya. Dalam bertugas guru memiliki peran ganda. Pertama harus secara jujur berani mengukur pekerjaan siswa dengan obyektive, dan kedua harus dapat meletakan dasar-dasar keadilan dan kejujuran terhadap dirinya, dan para siswanya. Apabila memang yang diajarkan tidak dapat diterima dengan baik oleh para siswanya atau nilai yang didapat oleh para siswanya memang kurang, maka guru harus mawas diri apakah cara dia mengajar telah benar? Tidak mudah memang bertindak jujur terhadap diri sendiri, tetapi hasil kerja siswa sebenarnya juga merupakan hasil kerja guru, artinya dalam keadaan normal dimana siswa yang mengikuti pelajaran juga memiliki kemampuan yang normal, mereka ingin untuk mencapai prestasi dengan baik dan mau belajar dengan sungguh-sungguh.
Belajar dengan sungguh-sungguh ini merupakan syarat yang sangat penting, karena dewasa ini terutama untuk Sekolah Pasca sarjana yang sebagian besar siswanya adalah para pegawai dan sudah berusia lanjut untuk belajar dengan serius perlu energi tersendiri. Mereka sebagian besar bukan belajar untuk mencari ilmu tetapi belajar untuk mendapatkan ijazah. Niat dan keinginan ini syah saja, tetapi Pasca sarjana tidak bisa memberi kemudahan-kemudahan karena dia hanya ingin mencari ijazah, norma akademis tetaap harus dipegang secara serius. Para pengajar, pembimbing, dan penguji harus belajar untuk menjadi penilai dan sekaligus memberi contoh yang posistive agara para siswa dapat mencontoh para guru dan dosennya hal yang baik dan posistive, jangan yang lain. Evaluai pemdidikan harus dikerjakan secara terencana, jujur, obyektif, dan memberikan harapan-harapan kemasa depan bagi mereka yang mampu dan memberikan peringatan bagi mereka yang kurang mampu untuk belajar lebih serius. Apabila para guru dan dosen dimanapun mereka berada bersedia untuk sedikit lebih sungguh dalam menilai dan memberikan predikat kelulusan kepada para siswanya, maka pendidikan di Indonesia akan semakin berkualitas, tidak perlu kalah dengan negara lain. Para menejer sekolah jangan silau terhadap materi karena tergiur siswa yang masuk banyak dan oleh karenanya mendapatkan uang oprasional yang banyak, tetapi sadarlah bahwa tujuan setiap sekolah adalah untuk mencerdsakan bangsa bukan untuk mencari tambahan penghasilan.
Teori pengukuran dan evaluasi pendidikan belum bergeser, yaitu untuk memberikan penghargaan kepada yang berprestasi dengan nilai tinggi, untuk mengetahui apakah yang diajarkan dapat dikuasai siswa, dan apakah tujuan pendidikan tercapai, bukan yang lain.
Berusahalah hai kawan-kawan guru, masa dengan bangsa ini di pundakmu.

Selasa, 03 Februari 2009

Kote Etik Penelitian

Dengan semakin dekat hari-hari pemilihan umum dan pemilihan calon Presiden, maka banyak bermunculan jajak pendapat, survei, atau penelitian untuk mengangkat citra seseorang. Para calon Presiden rela merogoh kantung dalam-dalam demi citra dan popularitasnya. Untuk meningkatkan citra tersebut mereka "menyewa" lembaga-lembaga survei yang mereka nilai handal agar pencitraan diri mereka. Agar tambah bergengsi dan seakan-akan didukung kerja para peneliti yang valid dan handal. Hal tersebut tidak dapat dihindari. Hampir di semua negara maju, jajak pendapat dengan bantuan para wartawan, survei dan peneliti sangat banyak dilaksnakan. Mereka (para pemesan) berharap dapat meningkatkan citra, dan dari citra yang baik, misalnya pemimpin yang "pembela rakyat", mereka ujung-ujungnya dapat mendapat suara lebih banyak. Dan lembaga-lembaga penelitian, survei dan surat-surat kabar serta televisi mendpat untung besar.
Penelitian ada bermacam-macam. Untuk menghindari kesalah fahaman maka perlu dibedakan antar penelitan ilmiah dan penelitian non ilmiah. Penelitian ilmiah berbeda secara mendasar dengan peneltian non ilmiah. Penelitian ilmiah umumnya terikat kuat dengan beberapa bersyaratan, antara lain harus menjawab permasalahan yang baru, tidak boleh mengulang penelitian orang lain, harus logis, mempunyai dasar teori yang valid, mempunyai kerangka konsep yang jelas, dan metodologi yang sesuai dengan masalah dan tujua yang ingin dicapai. Sedangkan penelitian non ilmiah biasanya dikerjakan untuk kepentingan sesaat, misalnya untuk mencari keterangan apakah seseorang pemimpin, tokoh, disenangi oleh rakyat atau tidak, atau untuk menjajagi apakah sebuah peraturan dapat dilaksanakan secara efektif atau tidak.
Dua jenis penelitian tersebut seharusnya berpegang pada satu prinsip serta kode etik, yaitu mencari kebenaran, berdasarkan fakta dari lapangan. Seorang boleh meneliti apa saja asal dia memiliki kompetensi (keahlian) pada masalah yang diteliti dan juga memiliki kemampuan metodologi yan handal. Tanpa memiliki kemampuan metodologi yang handal, maka hasil penelitiannya akan cenderung bias, dan kurang bermanfaat. Artikel ini akan membahas dasar-dasar penelitian tersebut.
Dengan prinsip dan kode etik untuk mencari kebenaran maka tugas seorang peneliti cukup berat dan sibuk, karena berhadapan dengan masalah serta responden yang memiliki dinamika tinggi. Misalnya seorang surveiyor mendapat pesanan untuk menjajagi popularitas seorang tokoh, maka dia tidak dapat dengan serta merta menghubungi tokoh-tokoh lain, atau orang-orang yang kemungkinan dapat memberi jawaban atas masalah yang diinginkan. Peneliti harus mengadakan studi awal tentang masalah yang ingin dipecahkan. Mungkin studi tersebut merupa studi dokumen tentang rekam jejak tokoh tersebut selama dua tahun terakhir yang berkaitan dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya. Dia juga harus mempelajari masalah-masalah yang kontra versial dan bertententangan dengan tokoh tersebut. Dari tokoh lain yang sealiran atau dari tokoh yang berbeda pendapat juga harus dipertimbangkan secara jujur.
Setelah studi dokumen tersebut mantap, maka peneliti mulai menyusun kerangka dasar serta kerangka opersioanal. Pemilihan sampel penelitian harus hat-hati, jangan cenderung memilih responden yang dekat kota karena alasan transporasi dan sebagainya, tetapi kerangka sampel perlu dirumuskan seccra cermat agar tidak bias. Kalau kerangka sampel sudah solid, maka instrumen yang dipergunakan juga harus dijuik keandalannya sehingga hasil yang dicapai juga handal. Tanpa instrumen yang hadal serta mengambil data yang rajin dan tekun maka ada peluang besar bahwa hasilnya tidak valid. Bila semua peersyaratan tersebut telah dipenuhi dan dikerjakan secara baik, maka hasilnya akan cenderung valid.
Persyarata untuk memilih petugas lapanga juga perlu diperhatikan. Petugas lapangan harus dipilih orang-orang yang memiliki dedikasi terhadap kebenaran dan kerja, jujur dan disiplin. Disini terletak kunci awal dari validitas data. Seorang petugas lapangan yang tidak tekun, tidak teliti dan tidak jujur, akan cenderung mamasukan pendapat sendiri di dalam instrumen, maka mereka harus dilatih serta diberi bekal yang cukup.
Dalam kerja analisis maka yang bertugas adalah mereka yang telah memiliki pengalaman dengan jam terbang yang cukup, sehingga dapat memberi tafsiran yang cenderung tepat. Bila hal ini semua dapat dicapai, maka hasil serta rekomendasi dari penelitian tersersebut dapat dipercaya. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa semua hasil penelitian tidak ada yang benar mutlak. Karena apabila respondenya manusia, dia dapat berubah pendirian dari waktu-ke waktu sehingga harus disediakan peluang tingkat error. Tingkat error dapat ditolerensi sebesar lima persen.
Kalau lembaga survei mengikuti prissip kejujuran dan kebenaran, dengan kerangka konsep berdasarkan kode etik yang dikemukakan di atas maka hasilnya akan sangat lebih baik, dan lembaga-lembaga survei menjadi lembaga yang dapat menunjang keberhasilan demokrasi di negeri ini, dan dapat ditepis agapan sementara orang bahwa lembaga-lembaga survei hanya melayani pesanan, dan dan cenderung mengikuti kehendak yang membayar. Kan sayang bagi para surveyor.

Semarang, 3 Pebruari 2009.

Sabtu, 24 Januari 2009

Senin, 18 Agustus 2008

ANGGARAN 20 PERSEN APBN UNTUK GURU

Menarik sekali apa yang dikemukan Menteri Pendidikan Bambang Subibyo yang menyatakan bahwa anggaran 20 persen APBN 2009 atau sebesar 224 Triliun lebih, setengahnya diprioritaskan untuk kesejahteraan guru yang berada di daerah. Sebagian lain untuk menuntaskan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, perbaikan kesejahteraan peneliti, meningkatkan mutu SMK. Selamat untuk Menteri Pendidikan Nasional dan para guru serta program pendidikan. Dengan anggaran sebesar 224 triliun tersebut, kiranya sekolah-sekolah negeri yang bocor dan hampir roboh dapat diperbaiki. Di samping itu karena Menteri Pendidikan memprioritaskan anggaran untuk daerah maka memprioritaskan dana dan pengawasan anggaran di daerah-daerah jauh dari pusat, seperti di daerah perbatasan dengan
Malaysia, Timor Leste, dan Papua New Giuini perlu diprioritaskan. Perencanaan membangunan pendidikan, pelaksanaan proses belajar mengajar, pengawasan dan evaluasi belajarnya juga perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh.

Di daerah perbatasan, para pejabat dan pengawas dari daerah perlu diutamakan. Artinya mereka dididik, dilatih untuk mengembangkan pendidikan dan diberi staf yang handal serta fasilitas buku-buku dan media yang memadahi. Ini perlu ditekankan, karena pejabat dari luar daerah banyak meninggalkan posnya karena pulang kampung. Studi banding, perjalanan harus dikurangi. Apabila ada uang berlebih Pemerintah Daerah diharapkan semakin banyak mengirim guru-gurunya untuk sekolah S2 dan S3 di Universitas yang maju, sehingga kader daerah tambah banyak dan handal. Di samping itu perlu juga seleksi dedikasi guru yang benar-benar ingin mengembangkan sekolah di daerah, jangan sampai guru tertentu hanya mau bekerja di daerah perkotaan yang telah maju. Perlu ada insentif khusus bagi guru, dosen dan peneliti yang mau bekerja di daerah-daerah untuk mengembangkan wilayahnya dengan kontrak kerja yang pasti.

Di daerah-daerah sebenarnya banyak kader handal, tetapi mereka lebih banyak terlibat pada tugas-tugas administrasi dan protokoler sehingga kadang-kadang mengurangi waktu untuk tugas pokok. Pemanfaatan sumber daya guru dan dosen di daerah-daerah untuk tugas penelitian pendidikan perlu diutamakan, jangan sampai tugas pokokdianak tirikan atau diserahkan guru baru atau dosen junior, karena mereka lebih tertarik pada jabatan-jabatan yang basah, seperti anggota legislatif, atau tim kemenangan Pilkada dasebaginaya.

Uang 224 triliun untuk banga Indonesia yang masih menderita ini besar sekali artinya kalau dipergunakan secara benar dan proporsional, jangan sampai ada semboyan mumpung ada uang marilah ramai-ramai bikin proyek, marilah ramai-ramai memproyek anggaran yang berlimpah. Ingatlah kualitas Indonesia ketinggalan dalam bidang pendidikan dengan Philipina, Thailand, Malaysia dan Vietnam.

18-08-2008
Merdeka.
Ph. Dewanto

Minggu, 17 Agustus 2008

SAMPEL SURVEI

Survey masalah sosial yang tertua dikerjakan oleh Kaisar Agustus beberapa hari sebelum Hari Natal Pertama (sekitar tahun nol Masehi). Kali ini survei sosial berkembang sangat cepat sehingga mampu memberikan ramalan, kontrol dan informasi yang cukup berguna bagi perkembangan suatu masalah serta ilmu. Salah satu prosedur dalam survei adalah bagaimana menentukan sampel yang tepat. Sampel yang tepat ini menentukan penarikan generalisasi dan ramalan yang mendekati benar. Contoh yang telah banyak diketahui adalah survei masalah Pilpres atau Pilkada di beberapa daerah. Ada beberapa lembaga survei yang menawarkan jasa untuk dapat meramalkan keberhasilan atau strategi untuk mencapai kemenangan. Lembaga tersebut tentu dapat bekerja denganbaik dan akurat, tetapi kadang-kadang hasil informasinya serta ramalannya kurang akurat. Mungkin teknik pengambilan sampel merupakan salah satu kuncinya.

Sampel yang sampai hari ini dianggap paling akurat adalah sampel dengan Peluang (probability).

Dalam teknik ini suveyor harus menentukan kritria populasi yang dianggap mewakili karakter yang diinginkan. Dalam hal Pilkada atau Pilpres, karakter populasi berbeda. Pilkada populasi daerahnya terbatas dan karakter sub populasi juga terbatas. Untuk dapat memberi informasi yang valid dalam menentukan sampel Pilkada kecuali memperhatikan karakter populasi juga karakter masing-masing subpopulasi. Misalnya untuk Calon yang dijagokan partai tertentu, harus memperhatikan basis karakter disetiap kantung partai tersebut, tetapi juga basis harus memperhatikan karakter kelompok-kelompok anggota partai lawan. Yang sangat susah adalah menentukan daerah yang sering disebut mengambang atau abu-abu. Suatu saat mereka dapat berubah pendirian. Dalam survei peluang yang dilaksanakan secara acak, maka dapat diketahui kecenderungan pemilih. Dan suveyor dapat memberikan rekomendasi kepada calon (jagonya) bagaimana strategi yang dapat dilaksakan dalam kampanye untuk masing-masing daerah. Ini disebut teknik klaster. Dan apabila dilaksanakan secara acak maka disebut teknik klaser random sampling.

Strategi ini harus dilaksanakan secara konsisten sehingga mendorong keyakinan masyarakat yang para calon pemilih yang mendengarnya, dan dibungkus dengan wadah yang menarik. Bila strategi untuk kampenye hanya memiliki cara yang sama disemua daerah maka dipastikan tidak menarik dan membosankan. Para calon Presiden dan Kepala daerah, atau Caleg saya anjurkan untuk berlomba manarik masa dengan strategi yang simpatik, kaya metoda, dan mendalami karakter sub populasi ari masing-masing calon pemilih, dan sekaligus mendidik masyarakat pemilih dalam berpolitik dengan cerdas dan santun. Semoga Pemilihan Umum 2009 lebih sukses dan dimenangkan partai yang mendorong Rakyat untuk Mandiri dan Merdeka dan cerdas secara politik, cultural, pedagogis dan ekonomis. Jangan lagi menggunakan politik uangdan politik kotor yang lain.



Para pembaca blok ini kalau membaca hasil survei jangan buru-buru percaya, tetapi teliti bagaimana teknik pengambilan sampel dan teknik mengumpulan datanya secara saksama. Kalau lembaga survei tidak menjelaskan teknik-teknik tersebut berarti kurang bertanggung jawab. Peneliti yang baik seharusnya memberi keterangan kepada pembacanya, bagaimana metodologi yang dipergunakan, teknik menarikan sampel, teknik pengumpulan data dan error yang diperoleh, serta teknik analisisnya.
Marilah kita belajar untuk menghargai survey dan mengkritisi hasilnya supaya mendapatkan keterangan hasil survey yang akurat. Tidak ada hasil survey yang benar 100 persen, tetapi survey sangat berguna apabila apabila dilaksanakan dengan metodologi yang benar, jujur, termasuk melaporkan tingkat kesalahannya.

Merdeka. 18 Agustus 2008
Ph.Dewanto

Minggu, 08 Juni 2008

KEMANA ARAH PENDIDIKAN KITA?

Peristiwa penyerbuan ke kampus Universitas Nasional (Unas), yang diprotes keras oleh Rektor Unas. Penyerbuan laskar KLI/FPI ke Monas dikutuk banyak kalangan. Kedua peristiwa tersebut merupakan indikator kegagalan pemerintah dan para tokoh bangsa dan tokoh agama dalam mendidik masyarakat. Kekerasan yang dipergunakan oleh polisi dan juga oleh KLI/FPI merupakan identitas ketidak mampuan polisi untuk mempergunakan nalar yang sadar, serta solidaritas rakyat yang menderita, miskin. Polisi bukanlah robot, tetapi aparat yang mendapat pendidikan khusus dengan biaya dari pajak rakyat. Mereka seharusnya solider dengan perjuangan mahasiswa yang menjerit karena mahalnya bahan kebutuhan rakyat yang diakibatkan kenaikan BBM. Sedangkan terhadap peristiwa penyerbuan Monas oleh elemen masyarakat polisi terkesan lamban dan membarnkan sampai terjadi kurban.

Apa yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut, pertama: kesadaran polisi sebagai aparat belum berpihak pada rakyat, tetapi masih kuat kesan berpihak kepada penguasa. Bukan pelindung rakyat tetapi pelaksana perintah yang taat meskipun tertekan rasa kemanusiaan dan solidaritasnya. Kedua: pemerintah tidak berhasil menyelamatkan kebutuhan dan afeksi rakyat yang menderita sebagai akibat keputusan yang dibuatnya. Bahakan beberapa hari sebelumnya ada suara bahwa 'mahasiswa yang tidak setuju kenaikan harga BBM berarti tidak setuju dengan BLT." Suara tersebut dapat menyulut konflik horizantal, seakan antara orang miskin dengan mahasiswa berbeda kepentingan dan berhadapan.

Peristiwa Monas kelabu memberi citra bahwa bangsa Indonesia yang cinta damai serta memiliki toleransi tinggi dalam hidup beragama terpuruk dimata dunia internasional. Lebih menyedihkan lagi saat penyerbuan, pada waktu terjadi peringatan Lahirnya Pancasila ke 63, yang menjadi fondasi bangunan negara kebangsaan Indonesia. Keterlambatan polisi dalam mengantisipasi penyerbuan Moas terkesan ada unsur 'membiarkan' atas kekerasan demi kekerasan. Bahkan ada isu yang berkembang bukan 'membiarkan' politik yang terjadi tetapi juga 'pengalihan perhatian' agar masyarakat tidak terus memprotes kenaikan harga BBM. Politik mengalihkan perhatian ini belajar dari Orde Baru. Tetapi pada waktu itu keadaan masyarakat masih belum cerdas seperti saat ini sehingga gampang membaca rekayasa yang kurang jujur.

Rakyat dan semua bangsa di dunia tentu berharap agar pemerintah mampu mengatasi kekerasan politik yang terjadi di Indonesia. Seharusnya pemerintah memiliki garis yang tegas agar tidak ada pemerintahan lain di dalam negara, seakan-akan negara menjadi tidak 'berdaya' mengatasi kelompk yang berbuat kekerasan. Harapan ini juga menjadi dambaan rakyat kecil agar mereka dapat bekerja mencari makan dengan tenang, tanpa diganggu para perusak dan "penarik uang" seluman.

Rabu, 17 Oktober 2007

Memilih Rujukan Tulisan

Menulis dapat berangkat dari angan-angan, keinginan, kerinduan untuk mengkomunikasikan gagasan, atau melaporkan suatu temuan. Laporan suatu temuan ini dapat ditulis secara populer, atau secara ilmiah tergantung kesempatan atau gaya penulis. Keduanya ada untung dan ruginya. Pertama, kalau sesuatu gagasan atau temuan ditulis secara populer, tentu harus dipikirkan siapa yang akan membaca, dan apa harapan yang diinginkan. Dalam menulis populer perlu dipilih bahasa yang sederhana, lugas dan runtut, tidak berbelit-belit, atau dengan logika yang dapat dicerna oleh pembaca yang dituju. Judul tulisan biasanya diangkat sesuai dengan pokok pikiran yang akan diutarakan.

Tulisan bentuk kedua adalah tulisan “ilmiah“ yang biasanya disajikan oleh para peneliti atau para pakar yang ingin menyampaikan gagasannya secara analitis, sintetis dan metodologis. Sasaran tulisan ini memang agak terbatas pembaca yang ingin memperluas cakrawala dalam salah satu bidang. Kedua jenis tulisan tersebut memerlukan rujukan yang terkait dan terpercaya, bukan sembarang rujukan dapat dipergunakan sebagai sumber.

Ada beberapa kriteria rujukan yang perlu diperhatikan natara lain:

Tertulis dan dapat diakses secara terbuka. Apabila berasal dari sumber tertentu, misalnya bank, atau dinas rahasia, penulis harus dapat menunjukan kode sumbernya secara tepat dan valid.
Tulisan harus ditulis oleh orang yang memiliki kepakaran atau pengalaman dalam bidang yang ditulis. Semua orang dapat menulis apa saja dimana saja, tetapi untuk dapat dijadikan rujukan suatu tulisan seorang penulis harus selektif. Seorang penjelajah, atau petualang dapat menulis apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Datanya valid dan mungkin lengkap. Tulisannya dapat menjadi rujukan, tetapi ada untuk membuat tulisan ilmiah, seperti skripsi, tesis dan disertasi, banyak orang yang tidak dapat menerima, terutama mereka para ilmuwan, mereka menyangsikan tulisan koran atau berita tidak dapat dipakai sebagai rujukan. Barangkali datanya dapat diadopsi dan dapat dipergunakan sebagai bukti suatu kejadian atau suatu tindakan, misalnya data uang mantan Presiden Suharto di luar negeri, yang disinyalir oleh majalaj Time, tetapi analisisnya perlu dicermati mungkin kurang sesuai dengan teori yang diakui oleh para pakar terkait pada saat tulisan tersebut dipublikasikan.
Dalam merujuk karya tulis dari media maya (internet) juga harus teliti karena tidak semua yang ditulis dimedia tersebut berbobot.
Tulisan yang disajikan dalam jurnal ilmiah umumnya dapat dirujuk, karena telah mengalami seleksi yang cukup sistematis, dan biasanya tulisan dalam jurnal merupakan laporan penelitian yang dikerjakan oleh seorang pakar.
Dokumen yang bersifat implementasi dari suatu teori, konsep, misalnya peraturan, undang-undang, dan sejenisnya dapat dirujuk sejauh untuk melengkapi implemtasi suatu teori, tetapi tidak dapat dijadikan landasan analisis atau landasan teori.
Untuk dapat menulis dengan cepat dan baik seharusnya rujukan tersebut telah dipelajari dan dikuasi, sehingga analisis dan memeahan masalah dapat tuntas.